Sastra (Sansekerta, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta śāstra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śās- yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata “sastra” bisa pula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa.
PENGERTIAN SASTRA MENURUT PARA AHLI
1. Sumarno dan Saini, sastra adalah ungkapan pribadi manusiaberupa pengalaman,
pemikiran, perasaan, gagasan, semangat,keyakinan, dalam suatu bentuk
gambaran kongkret yangmembangkitkan pesona dengan alat-alat bahasa.
2. Mursal Esten, menyatakan sastra atau kesusastraan adalahpengungkapan dari
fakta artistik dan imajinatif sebagaimanifestasi kehidupan manusia (dan
masyarakat) melaluibahasa sebagai medium dan punya efek yang positif
terhadapkehidupan manusia (kemanusiaan).
3. Menurut Engleton, sastra yang disebutnya "karya tulisan yanghalus" (belle letters)
adalah karya yang mencatatkan bentukbahasa. harian dalam berbagai cara
dengan bahasa yangdipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan
danditerbalikkan, dijadikan ganjil.
1. Sumarno dan Saini, sastra adalah ungkapan pribadi manusiaberupa pengalaman,
pemikiran, perasaan, gagasan, semangat,keyakinan, dalam suatu bentuk
gambaran kongkret yangmembangkitkan pesona dengan alat-alat bahasa.
2. Mursal Esten, menyatakan sastra atau kesusastraan adalahpengungkapan dari
fakta artistik dan imajinatif sebagaimanifestasi kehidupan manusia (dan
masyarakat) melaluibahasa sebagai medium dan punya efek yang positif
terhadapkehidupan manusia (kemanusiaan).
3. Menurut Engleton, sastra yang disebutnya "karya tulisan yanghalus" (belle letters)
adalah karya yang mencatatkan bentukbahasa. harian dalam berbagai cara
dengan bahasa yangdipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan
danditerbalikkan, dijadikan ganjil.
4. Ahmad Badrun, berpendapat bahwa
Kesusastraan adalahkegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-
simbol lain sebagai alai, dan bersifat imajinatif.
5. Menurut Semi, sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaanseni kreatif yang
objeknya adalah manusia dan kehidupannyamenggunakan bahasa sebagai
mediumnya.
6. Panuti Sudjiman, mendefinisikan sastra sebagai karya lisan atautulisan yang
memiliki berbagai ciri keunggulan sepertikeorisinalan, keartistikan, keindahan
dalam isi, danungkapannya.
7. Menurut Sumardjo dan Sumaini, definisi sastra yaitu :
1. Sastra adalah seni bahasa.
2. Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yangmendalam.
3. Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa.
4. Sastra adalah inspirasi kehidupan yang dimateraikan dalamsebuah bentuk
keindahan.
5. Sastra adalah semua buku yang memuat perasaankemanusiaan yang benar dan
kebenaran moral dengansentuhan kesucian, keluasan pandangan dan bentuk
yangmempesona.
8. Suyitno, Sastra adalah sesuatu yang imajinatif, fiktif dan inventif juga harus
melayani misi-misi yang dapatdipertanggungjawabkan.
9. Tarigan, sastra adalah merupakan obyek bagi pengarang dalammengungkapkan
gejolak emosinya, misalnya perasaan sedih,kecewa, senang dan lain sebagainya.
10.Damono, mengungkapkan bahwa sastra menampilkangambaran kehidupan, dan
kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.
Kesusastraan adalahkegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-
simbol lain sebagai alai, dan bersifat imajinatif.
5. Menurut Semi, sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaanseni kreatif yang
objeknya adalah manusia dan kehidupannyamenggunakan bahasa sebagai
mediumnya.
6. Panuti Sudjiman, mendefinisikan sastra sebagai karya lisan atautulisan yang
memiliki berbagai ciri keunggulan sepertikeorisinalan, keartistikan, keindahan
dalam isi, danungkapannya.
7. Menurut Sumardjo dan Sumaini, definisi sastra yaitu :
1. Sastra adalah seni bahasa.
2. Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yangmendalam.
3. Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa.
4. Sastra adalah inspirasi kehidupan yang dimateraikan dalamsebuah bentuk
keindahan.
5. Sastra adalah semua buku yang memuat perasaankemanusiaan yang benar dan
kebenaran moral dengansentuhan kesucian, keluasan pandangan dan bentuk
yangmempesona.
8. Suyitno, Sastra adalah sesuatu yang imajinatif, fiktif dan inventif juga harus
melayani misi-misi yang dapatdipertanggungjawabkan.
9. Tarigan, sastra adalah merupakan obyek bagi pengarang dalammengungkapkan
gejolak emosinya, misalnya perasaan sedih,kecewa, senang dan lain sebagainya.
10.Damono, mengungkapkan bahwa sastra menampilkangambaran kehidupan, dan
kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.
Bentuk-bentukKesusastraan
Ada beberapa bentuk kesusastraan :
Ada beberapa bentuk kesusastraan :
- Puisi
- Cerita Rekaan (fiksi)
- Essay dan Kritik
- Drama
Fungsi
Sastra
- Dalam kehidupan masyarakat sastra memilik beberapa fungsi, yaitu:
- - Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat memberikan hiburan yang menyenengkan bagi pembacanya.
- - Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu mengaarhkan atau mendidik pembaacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung didalamnya.
- - Fungsi estetis, yaitu sastra mampu memberikan keindahan bagi pembacanya.
- - Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu memberikan pengetahuan kepada pembaca sehinggatahu moral yang baik danburuk, karena satra yang baik selalu mengandung moral yang inggi.
- - Fungsi religius, yaitu sastra menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran-ajaran agama yang dapat diteladani para pembaca sasra.
Bahasa
dan Sastra Sebagai Identitas Bangsa Dalam Proses Globalisasi
Kita
tengah memasuki abad XXI. Abad ini juga merupakan milenium III
perhitungan Masehi. Perubahan abad dan perubahan milenium ini
diramalkan akan membawa perubahan pula terhadap struktur ekonomi,
struktur kekuasaan, dan struktur kebudayaan dunia.
Fenomena
paling menonjol yang tengah terjadi pada kurun waktu ini adalah
terjadinya proses globalisasi. Proses perubahan inilah yang disebut
Alvin Toffler sebagai gelombang ketiga, setelah berlangsung gelombang
pertama (agrikultiur) dan gelombang kedua (industri). Perubahan yang
demikian menyebabkan terjadinya pula pergeseran kekuasaan dari pusat
kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian kepada kapital atau
modal, selanjutnya (dalam gelombang ketiga) kepada penguasaan
terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan tekhnologi).
Proses
globalisasi ini lebih banyak ditakuti daripada dipahami untuk
kemudian diantisipasi dengan arif dan cermat. Oleh rasa takut dan
cemas yang berlebihan itu, antisipasi yang dilakukan cenderung
bersifat defensif membangun benteng-benteng pertahanan dan merasa
diri sebagai objek daripada subjek di dalam proses perubahan.
Bagaimana
dengan bahasa dan sastra? Apakah yang terjadi dengan bahasa dan
sastra Indonesia di dalam proses globalisasi? Apakah yang harus
dilakukan dan kebijakan yang bagaiman yang harus diambil dalam
hubungan sastra Indonesia dalam menghadapi proses globalisasi atau di
dalam era pasar bebas?
Mitos
Tentang Globalisasi
Mitos
yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses
globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan
menghapus identitas dan jati diri . Kebudayaan lokal dan etnis akan
ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.
Anggapan
atau jalan pikiran yang demikian tidak sepenuhnya benar. Kemajuan
teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak
menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknolgi telah membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan
kekuasaan negara. Akan tetapi, Jhon Naisbitt dalam bukunya Global
Paradox memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari
fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt
mengatakan “Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia,
semakin perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi”.
Ia di dalam bukunya itu juga mengemukakan pokok-pokok pikiran lain
yang paradoks sehubungan dengan masalah ini. “Semakin kita menjadi
universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan”, “berfikir
lokal, bersifat global.” Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua
bagi semua orang, bahasa pertama, bahasa ibu mereka, menjadi lebih
penting dan dipertahankan dengan lebih giat.
Dari
pernyataan Naisbitt itu, kalau kita mempercayai, proses globalisasi
tetap menempatkan masalah lokal ataupun masalah etnis (tribe) sebagai
masalah yang penting yang harus dipertimbangkan. Dalam bukunya yang
lain Megatrends 2000, Naisbitt juga mengatakan bahwa era yang akan
datang adalah era kesenian dan era pariwisata. Orang akan
membelanjakan uangnya untuk bepergian dan menikmati karya-karya seni.
Peristiwa-peristiwa kesenian yang akan menjadi perhatian utama
dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga yang sebelumnya lebih
mendapat tempat.
“Berpikir
lokal, bertindak global”, seperti yang dikemukakan Naisbitt itu,
pastilah akan menempatkan masalah bahasa dan sastra, khususnya bahasa
dan sastra Indonesia, sebagai sesuatu yang penting di dalam era
globalisasi. Proses berpikir tidak akan mungkin dilakukan tanpa
bahasa. Bahasa yang akrab untuk masyarakat (lokal) Indonesia adalah
bahasa Indonesia. Proses berpikir dan kemudian dilanjutkan proses
kreatif, proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra, yakni
karya sastra Indonesia.
Perkembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia
Di
dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik.
Bahasa Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan
pendukung yang kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang
besar. Bahasa ini telah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di
Nusantara Indonesia. Sebagian besar di antaranya juga telah
menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Bahasa Indonesia
yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu telah “menggusur”
sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang
semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan
menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa
dan bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari
masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam
persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa Indonesia telah
mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa
Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern
pula.
Perkembangan
yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut akan banyak
ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peranan yang
strategis dari masyarakat dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan
bahwa masyarakat kawasan ini, yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand,
Vietnam, Brunai Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu
global-tribe yang penting di dunia. Jika itu terjadi, bahasa
Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa yang
lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untuk
kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia
Pasifik (mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan. Peranan
kawasan ini (termasuk masyarakatnya, tentu saja) sebagai kekuatan
ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di dunia, akan
menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan bahasa
Melayu) modern. Bahasa dan sastra Indonesia sudah semenjak lama
memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah
menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis
yang ada di Nusantara.
Perubahan
yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa,
tetapi lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru (atau lebih
tepat manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam
sebuah proses perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel
Indonesia. Lihatlah tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya,
tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh
Hanafi di dalam roman Salah Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam
novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi.
Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia yang baru,
dunia yang global, dengan tertatih-tatih.
Dengan
demikian, satra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya adalah
sastra yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan
perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah
dalam globalisasi karena ia memang berada di dalamnya. Yang menjadi
soal adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra itu memiliki
posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh,
bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakatnya memiliki posisi kuat
di tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya).
Kalau
merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John Naisbitt,
dua peramal masa depan tanpa bola-bola kristal, bahasa Indonesia dan
sastra Indonesia akan menjadi bahasa (dan sastra) yang penting di
dunia.
Politik
Bahasan dan Politik Sastra
Proses
globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya
paradigma tentang “pembinaan” dan “pengembangan” bahasa.
Bahasa Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara,
melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe (suku) yang
mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasikan
perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin
dihadapi. Mekanisme pembinaan dan pengembangan tidaklah ditentukan
oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan
oleh
mekanisme “pasar”. Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan “bahasa yang baik dan benar”. Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.
mekanisme “pasar”. Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan “bahasa yang baik dan benar”. Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.
Di
dalam kehidupan sastra juga diperlukan suatu politik sastra. Sastra
Indonesia harus lebih dimasyarakatkan, tidak saja untuk bangsa
Indonesia, tetapi juga untuk masyarakat yang lebih luas. Penerbitan
karya-karya sastra harus dilakukan dalam jumlah yang besar.
Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi semestinya menjadi tempat untuk
membaca karya-karya sastra. Pengajaran sastra haruslah menjadikan
karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran.
Di
dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai
objek perubahan, melainkan harus menjadi subyek. Bahasa dan sastra
(Indonesia) amat potensial menjadi bahasa dan sastra yang
diperhitungkan di dalam dunia global.
Jika
dunia Melayu (dan Indonesia) akan hadir sebagai salah satu
global-tribe di dunia dan kawasan Asia Pasifik, bahasa dan sastranya
harus juga berkembang ke arah itu. Bahasa Melayu (dan Indonesia)
harus siap menerima peranan yang demikian. Sastra Indonesia harus
tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah dunia yang global.
Bahasa dan sastra Indonesia (Melayu) harus mampu menjadikan kekuatan
budaya (global-trible) yang baru itu. Untuk itu, diperlukan suatu
politik bahasa ( dan sastra) yang terbuka, bukan bersifat defensif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar